
Pada zaman dahulu, narasi politik dibangun dari podium. Mereka berbicara di hadapan rakyat dan menyampaikan gagasan lewat orasi yang panjang. Ruang politik kala itu bersifat vertikal: pemimpin bicara, rakyat mendengar. Namun zaman telah berubah dan struktur itu telah runtuh. Era digital telah mengubah segalanya.
Kini, politik adalah percakapan yang tak pernah berhenti. Bukan lagi soal siapa yang bicara paling lantang di podium, tetapi siapa yang paling mampu mengemas dengan baik.
Semua narasi itu berada diruang digital yang bisa disebarluaskan secara cepat dan efisien. Orasi sekarang bisa digantikan dengan unggahan video atau caption di media sosial.
Cara yang sederhana ini bisa memberikan pengaruh politik yang luas. Misi dan misi dapat disampaikan hanya dari tagar, meme, atau komentar netizen yang viral.
Narasi dalam Era Scroll
Perubahan medium ini tentu berdampak besar terhadap bentuk dan isi komunikasi politik. Di media sosial, waktu perhatian publik amat singkat. Maka, politisi mau tidak mau beradaptasi.
Gagasan tidak lagi disusun dalam paragraf, tapi dalam frasa pendek yang mudah diingat:"perubahan dimulai dari sini," "politik harapan" atau "kami hadir untuk rakyat."
Inilah era narasi instan. Singkat, padat, dan penuh muatan emosional. Tidak perlu terlalu dalam, asal menyentuh. Ruang publik digital pada akhirnya bukan hanya tempat menyampaikan pesan, tapi medan memperebutkan emosi kolektif.
Masalahnya, ketika narasi politik bergeser dari argumentasi ke impresi, kita menghadapi risiko serius: politik kehilangan kedalaman. Gagasan besar dikalahkan oleh sensasi visual. Dalam banyak kasus, yang viral justru yang dangkal, bahkan menyesatkan.
Jika dahulu narasi dibentuk secara terpusat oleh elite atau partai politik, kini semua orang bisa menjadi penyambung bahkan produsen wacana.
Sekarang ini para netizen, buzzer dan bahkan para influencer seringkali memiliki pengaruh kuat untuk membentuk sebuah opini publik. Kekuatan ini tentu positif dalam kerangka demokratisasi informasi, tetapi juga mengandung potensi distorsi.
Kita bisa menyaksikan betapa cepatnya narasi politik dipelintir, disederhanakan, bahkan disalahgunakan demi kepentingan pragmatis. Isu-isu seperti kemiskinan, identitas, dan keamanan mudah dijadikan komoditas politik. Yang penting ramai, soal benar atau tidak bisa dibicarakan nanti.
Membangun Kesadaran Kritis
Apa yang dibutuhkan dalam situasi seperti ini? Bagian terpenting tentang kesadaran dari setiap individu tentang pentingnya narasi yang bertanggung jawab. Oleh sebab itu, literasi digital harus menjadi agenda dari pendidikan politik.
Masyarakat perlu dibekali dengan kemampuan menyaring, memahami konteks, dan menilai apakah suatu narasi menyampaikan kebenaran atau hanya membungkus ambisi.
Begitu pula para pelaku politik: mereka memegang tanggung jawab moral dan etis. Narasi bukan hanya alat pemenangan, melainkan bagian dari membentuk karakter demokrasi kita. Narasi yang baik bukan hanya memikat, tapi mencerdaskan.
Penutup
Evolusi narasi politik dari orasi ke opini publik adalah keniscayaan zaman. Namun di tengah derasnya arus informasi digital, kita perlu memastikan agar narasi politik tidak terjebak dalam kebisingan, atau bahkan berubah menjadi alat polarisasi.
Kita butuh politisi yang tidak hanya lihai merangkai kata, tapi juga jujur dalam menyampaikan makna. Dan kita butuh publik yang tak hanya ingin diyakinkan, tapi juga ingin memahami. Di sanalah letak kualitas demokrasi kita hari ini.
0 Comments