Manusia modern telah menemukan formula jenius untuk menghabiskan hidup secara efisien: bangun pagi, kerja 8 jam, pulang, tidur, ulangi. Demikianlah rutinitas yang dilakukan sampai pensiun atau pensiun dipercepat oleh Tuhan.
Konsep seperti ini terlihat sederhana. Namun bekerja dari pagi sampai sore, lalu pulang dalam keadaan seperti nasi bungkus; hangat, lemas, dan diremas-remas. Katanya ini bagian dari hidup yang produktif, nyatanya Indonesia masih menjadi negara miskin.
Ratusan juta penduduk di belahan bumi NKRI masih jauh dari kata layak. Padahal, kalau produktivitas diukur dari jumlah napas yang tersisa saat pulang kerja, harusnya mereka sudah mapan.
Faktanya tidaklah demikian, gaji UMR tak mampu untuk mendapatkan makanan sehat dan bergizi; apalagi untuk membiayai pendidikan anak-anak. Bayangkan jika 8 jam kerja di negara tetangga seperti Australia, mungkin mereka tak perlu berebut bansos.
Kantor: Pabrik Manusia Setengah Mati
Kantor itu seperti warung makan padang. Ya begitulah! Dari luar terlihat rapi dan menjanjikan, tapi di dalamnya penuh tekanan. Di sinilah manusia dikumpulkan, diberi meja, kursi, dan mereka bekerja seperti zaman penjajah. Tenaga diperas, tapi gaji tak sesuai.
Lebih anehnya, ritualnya pun sangat sakral. Pagi dimulai dengan meeting tidak penting yang bisa saja disingkat menjadi email. Siang diisi dengan makan sambil pura-pura bahagia.
Sore ditutup dengan revisi mendadak dari bos yang mendadak ingat punya ide, 2 menit sebelum pulang. Seandainya neraka punya cabang di Bumi kita hari ini, kemungkinan besar ada seragam kantor dan ID card.
Work-Life Balance: Antara Mitos dan Ilusi
Kita sering menemukan di brosur kantor ada istilah keren: "work life balance." Ini cuma ngelawak doang njir! Kata-katanya sungguh manis; Anda bisa bekerja dan punya kehidupan pribadi yang sehat. Faktanya, yang seimbang itu cuma kadar gula dalam kopi doang.
Pekerjaan 8 sampai 10 jam per hari sampai tulang keropos gaji gak cukup buat hidup sebulan. Sialah gak nih! Keseimbangan itu harusnya gaji dan pekerjaan sesuai.
Keseimbangan yang dimaksud di Kohona ada ilusi dan fiktif. Apalagi kalau kamu tinggal di kota besar, di mana waktu perjalanan lebih lama dari waktu tidur, dan gaji cuma mampir untuk bayar tagihan.
Uang Bukan Segalanya
Bos di kantor bilang, "kerja jangan cuma karena uang saja tapi juga pengalaman." Ya, kita setuju. Namun bukan berarti memperkaya bos tiap bulan kan, sedangkan karyawan di peras. Mungkin ini yang dinamakan Indonesia gelap, janji pemimpin tak sesuai dengan fakta; yang keluar dari mulutnya cuma omon-omon.
Kita kerja 8 jam demi hidup layak. Tapi hidup layak itu definisinya terus naik. Dulu makan nasi sama tempe sudah cukup. Sekarang? beras sudah naik, sembako naik dan kebutuhan pendidikan juga meningkat.
Gaji naik? Mimpi di siang bolong, kenaikan gaji hanya berlaku untuk menteri, DPR dan pegawai pemerintah. Sedangkan rakyatnya gaji UMR dan di potong ini dan itu. Sungguh menyedihkan!
Liburan: Maksud Anda Cuti Sakit?
Ada anggapan bahwa hidup tidak hanya tentang kerja. Kita harus menikmati hidup. Tentu! Asal kamu bisa lolos dari kalender kerja yang lebih padat dari konser Coldplay.
Mau cuti harus isi form, minta persetujuan atasan, terus diingatkan: Tapi kamu tetap bisa dihubungi ya?. Akhirnya kamu liburan sih, tetapi jiwa kamu seperti dipenjara.
Jangan lupa juga, setiap habis liburan kamu harus kerja dua kali lebih keras untuk mengganti waktu kamu tidak kerja. Ini Indonesia bro, jangan pernah kaget. Sudah biasa kerja paksa pagi sampai malam.
Akhir yang Tidak Menenangkan
Akhirnya kita sadar: kerja 8 jam sehari bukan soal "mengejar mimpi" seperti kata motivator, tapi lebih ke "mengejar utang dan tenggat waktu".
Apakah ini salah sistem? Salah siapa-siapa juga sih enggak. Kita cuma kebetulan lahir di zaman yang lebih mementingkan produktivitas ketimbang kesehatan mental.
Namun kalian harus tetap semangat ya. Hari gajian sebentar lagi kok, meskipun begitu masuk langsung disambut tagihan ini itu. Dompet menjerit, "isi aku, bang!" Jadi, jangan lupa tersenyum. Jika kamu tidak tersenyum, bisa-bisa kamu dikira mau resign.
0 Comments