
Ketika menjelang pemilu, masyarakat selalu disuguhi dengan janji-janji manis yang menggelora. Misalnya jutaan lapangan kerja akan dibuka. Inilah janji manis yang beracun, mereka berjanji pembangunan tanpa hutang, lapangan kerja berjuta-juta, menegakkan keadilan dan memburu koruptor.
Namun di balik janji itu, muncul pertanyaan yang mendasar: apakah ini narasi yang tulus dari atau sekadar manipulasi emosional demi sebuah kekuasaan?
Dalam dunia politik modern, narasi bukan sekadar alat komunikasi. Ia adalah senjata yang paling strategis. Narasi politik adalah menyatukan sebuah gagasan, emosi, dan visi misi dalam satu bingkai cerita yang menggugah.
Lewat sebuah narasi epik, seorang politisi bisa mengubah masalah menjadi momentum, kegagalan menjadi harapan, dan ketakutan menjadi keyakinan. Namun, di sinilah garis merah antara narasi dan manipulasi mulai kabur.
Narasi sebagai Alat Legitimasi
Narasi politik sebenarnya berperan membangun sebuah legitimasi. Pemimpin yang sukses sering kali mahir menciptakan "cerita besar" yang bisa dipercaya rakyat. Misalnya, narasi "perubahan" yang melekat kuat pada kampanye para tokoh-tokoh dunia seperti Barack Obama, Jokowi atau Prabowo.
Cerita seperti ini bukan hanya menggambarkan visi, tapi juga menyatukan massa dalam harapan dan misi yang besar.
Namun, ini sangat berbahaya jika narasi yang muncul tidak lagi berpijak pada kenyataan, melainkan dibentuk untuk menciptakan ilusi. Di titik ini, narasi berubah menjadi manipulatif; bukan menyampaikan kenyataan, tapi menyembunyikannya.
Manipulasi: Menjual Mimpi, Menyembunyikan Fakta
Manipulasi dalam politik terjadi ketika narasi sengaja dirancang untuk menggiring emosi tanpa dukungan fakta yang kuat. Janji yang terlalu fantastis dan penyederhanaan masalah kompleks adalah beberapa contoh manipulatif yang sering digunakan.
Sayangnya, masyarakat kadang terlalu larut dalam emosi narasi, sehingga tidak lagi kritis terhadap isinya. Media sosial turut memperparah situasi ini. Algoritma hanya memperkuat narasi yang ingin kita percaya, bukan yang benar-benar objektif.
Peran Publik: Dari Penonton Menjadi Penguji
Dalam situasi ini, masyarakat tidak bisa lagi menjadi penonton pasif. Narasi politik harus diuji; bukan hanya dari retorika, tetapi dari rekam jejak, konteks, dan keberlanjutan logisnya.
Apakah janji yang disampaikan punya dasar kebijakan yang realistis? Apakah narasi itu membuka ruang dialog atau sekadar menebar kebencian?
Melihat berbagai persoalan yang muncul, maka Literasi politik menjadi kunci penting. Semakin tinggi kemampuan masyarakat memahami narasi, semakin kecil kemungkinan mereka jatuh dalam jebakan manipulasi.
Kritis terhadap Cerita, Bukan Membenci Ceritanya
Narasi dalam politik bukan musuh. Ia penting untuk membangun arah dan semangat demokrasi yang terbuka. Namun, ketika narasi digunakan untuk memanipulasi, menutup fakta, dan menjebak publik dalam fantasi kosong, maka kita patut waspada.
Di era di mana politik makin didorong oleh cerita, publik harus menjadi pembaca yang kritis, bukan pendengar yang pasrah. Karena pada akhirnya, cerita besar yang kita percayai akan menentukan masa depan yang kita jalani.
0 Comments