Janji mengenai lapangan kerja selalu ramai ketika masa pemilu, sebuah janji manis yang selalu ucapkan tetapi tidak pernah ditepati. Kata-kata orasi diucapkan dengan penuh semangat, dibungkus retorika manis, dan ditebar ke berbagai lapisan masyarakat seperti benih harapan.
Bagi rakyat kecil yang menggantungkan hidup pada kerja harian, janji itu tak lebih dari slogan yang menguap setelah pemilu usai.
Lapangan kerja hanya ada dalam wacana, tapi tak pernah benar-benar sampai di tapak kaki mereka. Ada puluhan ribu ijazah lulusan baru perguruan tinggi tidak berguna. Sampai kapankah pemerintah tidak peduli terhadap rakyatnya?
Proyek Besar, Pekerjaan Kecil
Di banyak daerah di Nusantara, masyarakat menyambut pembangunan dengan harapan besar. Ketika jalan tol dibuka, kawasan industri dibangun dan bandara diperluas, mereka berharap bisa ikut tumbuh bersama geliat ekonomi baru.
Tapi kenyataannya, realitasnya kerap mengecewakan dan kemiskinan terus meningkat. Mereka hanya menyaksikan alat berat melintas, pekerja dari luar masuk, sementara diri mereka tetap menggenggam harapan kosong.
Sungguh ironis sekali, Warga lokal sering tidak dilibatkan secara langsung. Kalaupun ada perekrutan, syaratnya terlalu tinggi dan muluk-muluk bagi yang hanya lulusan SMP, SMA dan bahkan bagi para sarjana.
Akibatnya, mereka kembali pada pekerjaan informal: buruh tani, tukang ojek, pedagang asongan dan bahkan penganguran. Dunia kerja sangat keras, tidak pasti, monopoli dan tidak pernah berpihak pada rakyat kecil.
Angka Statistik vs Wajah Manusia
Dalam banyak laporan, pemerintah mengklaim telah membuka ribuan, bahkan jutaan lapangan kerja. Namun, angka-angka ini tidak menjelaskan siapa yang benar-benar mendapatkan pekerjaan itu.
Apakah rakyat kecil terlibat? Apakah pekerjaannya layak? Apakah upahnya mencukupi kebutuhan dasar? Sayangnya, statistik tak bisa bicara tentang nasib manusia di baliknya.
Pelatihan Tak Menyentuh Akar
Salah satu argumen yang sering dikemukakan pejabat adalah bahwa masyarakat perlu meningkatkan keterampilan. Pelatihan dan pendidikan vokasi dianggap sebagai solusi jangka panjang.
Tapi persoalannya bukan sekadar ada atau tidak ada pelatihan. Masalahnya adalah apakah pelatihan itu tepat sasaran, mudah diakses, dan sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja yang nyata?
Di pelosok desa atau wilayah terpencil, informasi soal pelatihan jarang sampai. Kalaupun sampai, kuotanya terbatas, atau materinya terlalu rumit dan tidak kontekstual.
Rakyat kecil tidak butuh pelatihan yang mengajarkan teori bisnis digital, jika mereka bahkan tak punya akses internet stabil.
Jaringan Kerja yang Elitis
Sistem penyaluran tenaga kerja pun masih tertutup dan sering berpihak pada mereka yang punya koneksi. Portal kerja online, misalnya, tak ramah bagi masyarakat bawah yang tidak punya perangkat atau keterampilan digital.
Oleh karena itu, lowongan kerja selalu jadi hak istimewa, bukan hak publik. Rakyat kecil kembali harus berjalan sendiri, tanpa peta, dalam hutan dunia kerja yang gelap dan ruwet. Ya, sama ruwetnya sama para pejabat yang hanya membesarkan perut mereka.
Menagih Janji yang Sering Dilanggar
Sebagai masyarakat, rakyat kecil sebenarnya tidak pernah menuntut banyak. Mereka tidak meminta pekerjaan di gedung-gedung tinggi atau gaji selangit.
Mereka hanya mengharapkan pekerjaan yang nyata, dekat dari rumah, upah layak, dan aman dari eksploitasi. Sayangnya, hingga kini, pekerjaan yang seperti itu masih menjadi kemewahan bagi sebagian besar rakyat.
Janji kerja seharusnya bukan lagi alat politik yang hanya laku saat kampanye. Ia harus diikat dengan kebijakan yang berpihak, sistem yang terbuka, dan keseriusan membangun kapasitas rakyat dari bawah.
Jika tidak, maka janji itu hanya akan menjadi utang moral yang terus bertumpuk dan tak pernah dibayar. Yang paling berbahaya bukan hanya mengingkari janji, tapi hilangnya kepercayaan rakyat terhadap negara.
Ketika rakyat kecil merasa tak lagi didengar, maka bukan hanya ekonomi yang rapuh, tetapi juga fondasi sosial kita sebagai bangsa.
0 Comments