Citra Dijual, Cuan Mengalir: Politik dalam Bungkus Cerita yang Rapi


Pemilu sekarang ini tidak sekadar memilih pemimpin, tetapi telah berubah menjadi sebuah pergelaran megah lengkap dengan sutradara dan penulis naskah. Bahkan tersedia juga tim kreatif dan juga sponsor. 

Di balik baliho yang tersenyum manis dan unggahan media sosial yang "kebetulan" viral, ada industri yang bekerja tanpa henti: ini narasi atau manipulasi.

Dalam berbagai hal, politik telah disulap menjadi produk konsumsi dan para kandidat adalah merek yang dikemas layaknya selebritas. Dari sinilah tercipta sebuah cerita, citra, dan cuan bertemu dalam simbiosis yang saling menguntungkan. 

Cerita disusun untuk membangun kedekatan emosional, citra dipoles untuk menutupi cela, dan dari situ cuan mengalir bagi konsultan, tim digital, bahkan media yang ikut bermain.

Dari Panggung ke Studio Produksi

Situasi politik hari ini lebih banyak diproduksi di belakang layar dari pada diperjuangkan di lapangan. Kandidat selalu  membangun sebuah basis massa, tetapi juga membangun persona digital. 

Narasi kampanye tak ditulis oleh hati nurani, melainkan oleh tim komunikasi yang ahli membaca algoritma dan sentimen publik.

Seorang sosiolog Prancis yang Pierre Bourdieu pernah mengatakan bahwa: "politik adalah seni membuat orang lain percaya bahwa kepentingan Anda adalah kepentingan mereka." 

Di era teknologi yang semakin canggih, seni juga semakin canggih. Bukan hanya menyentuh akal, tetapi langsung menyasar perasaan dan persepsi.

Narasi politik yang dibangun hari-hari ini bukan lagi tentang program kerja, melainkan soal bagaimana membangun "cerita yang laku jual." Kampanye menjadi soal impresi, bukan intensi.

Citra, tetapi Tanpa Isi?

Dibalik semua kemasan visual dan narasi inspiratif, publik kerap bertanya: apakah yang ditampilkan adalah refleksi dari isi yang sesungguhnya, atau hanya topeng elektoral? 

Terlalu sering kita menyaksikan politisi yang tampil memesona di layar, tapi gagap ketika ditantang membuktikan isi pidatonya.

Barack Obama pernah mengingatkan, “We don’t need more slogans, we need real solutions.” Namun kenyataannya, pemilu justru dijejali dengan jargon kosong, yang tujuannya bukan untuk membangun kesadaran, tapi menanam kesan.

Dan kesan, dalam industri ini, punya harga. Konsultan politik papan atas bisa mematok biaya miliaran rupiah untuk mengelola citra seorang kandidat. Dalam banyak kasus, strategi kampanye lebih menyerupai peluncuran produk baru dibanding diskusi kebijakan publik.

Kritik Publik dan Tanggung Jawab Etis

Kita tahu bahwa narasi tidak selamanya buruk. Ia bisa menyederhanakan gagasan, menyentuh emosi, dan membangun harapan. Tetapi, saat narasi digunakan semata-mata untuk mengelabui, maka demokrasi kehilangan substansi. 

Politik jadi panggung sandiwara, dan pemilih menjadi penonton yang dibuai ilusi. Karena itu, tugas kita sebagai publik adalah menembus lapisan kemasan, dan mencari isi sejatinya. 

Jangan hanya terpukau pada kemasan visual, atau cerita motivasi yang dibuat sedemikian rapi. Tanyakan: siapa yang menulis cerita ini? Apa agenda di baliknya?

Menutup Tirai Ilusi

Pemilu idealnya menjadi ajang menilai gagasan, bukan hanya gaya bicara. Sayangnya, selama cerita dan citra lebih utama daripada rekam jejak dan program nyata, maka politik akan terus menjadi industri persepsi.

Saat demokrasi digerakkan oleh kemasan, kita harus belajar menjadi pemilih yang tidak mudah dibeli oleh cerita. 

Sebab masa depan bangsa bukan ditentukan oleh slogan yang paling lantang, tapi oleh kejujuran di balik narasi itu sendiri. Baca juga ketika politik mengatur cara kita melihat dunia.

Post a Comment

0 Comments