Di tengah pembangunan dan geliat digitalisasi, ada satu kenyataan pahit di Indonesia: ribuan lulusan baru perguruan tinggi adalah pengangguran.
Mereka bukanlah pemalas, bukan pula tidak berusaha. Hal ini disebabkan oleh sistem dan standar yang tinggi tetapi gaji seperti kuli. Belum lagi lapangan pekerjaan yang sedikit dan tak ramah bagi pendatang baru.
Usia muda kini seolah menjadi seperti kutukan. Angka pengangguran tertinggi justru berasal dari kelompok usia produktif 20–24 tahun, menurut data Badan Pusat Statistik.
Lulusan Baru, Masa Depan Buntu
Di balik data statistik tersebut, tersimpan wajah-wajah muda yang penuh harapan yang mulai memudar. Mereka yang lulus dengan toga dan senyum bangga, kini harus mengisi hari-hari dengan melamar kerja tanpa henti.
Mereka sibuk mengedit CV, atau sekadar berharap ada notifikasi wawancara masuk di ponsel mereka. Ironisnya, pendidikan yang mereka tempuh bertahun-tahun justru sering kali terasa sia-sia. Sebagian besar kampus masih mengandalkan pendekatan lama: kuliah, teori, skripsi dan lulus.
Pihak kampus tak pernah betul-betul membekali mahasiswa dengan keterampilan yang relevan di dunia nyata. Ketika akhirnya mereka lulus, dunia kerja justru meminta pengalaman dan keahlian praktis yang tak pernah diajarkan.
Di sisi lain, janji pemerintah tentang penyediaan jutaan lapangan kerja masih terasa seperti ilusi. Ketika proyek-proyek besar berjalan, lapangan kerja memang tercipta, tapi untuk siapa?
Tak jarang justru posisi penting diisi oleh tenaga kerja luar daerah atau bahkan luar negeri, sementara pemuda lokal hanya jadi penonton di tanah sendiri.
Ketika Ijazah Tak Lagi Berarti
Ekonomi digital dan sektor kreatif hari ini memang tumbuh, tapi apakah semua lulusan perguruan tinggi serta-merta masuk ke dalamnya?
Jawabannya tidak! Karena tidak semua anak muda memiliki akses terhadap pelatihan, modal, atau jaringan untuk menjadi freelancer, pebisnis daring, atau konten kreator.
Ketimpangan akses inilah yang membuat "peluang" itu hanya bisa dimanfaatkan oleh sebagian kecil yang sudah unggul sejak awal. Pemerintah tampaknya masih terpaku pada kebijakan makro dan angka-angka pertumbuhan ekonomi.
Padahal yang dibutuhkan generasi muda saat ini bukan sekadar data, tapi jalur yang konkret menuju dunia kerja. Program magang, pelatihan, atau insentif untuk usaha mandiri masih tersebar acak, tanpa sistem yang menyatukan pendidikan dan kebutuhan pasar.
Oleh sebab itu, sebagian anak muda juga harus bercermin. Tidak semua kesulitan berasal dari luar diri. Ada yang terlalu menuntut idealisme, menolak pekerjaan karena merasa "tidak sesuai passion."
Akhirnya, mereka menyalahkan pemerintah yang tidak mampu menyediakan banyak lapangan kerja. Ketika negara sendiri belum mampu menyediakan ruang yang layak untuk berkembang, lalu bagaimana bisa menyuruh mereka untuk berusaha?
Apa tindakan pemerintah?
Solusi yang ditawarkan memang tidak bisa satu arah. Kampus harus mulai berpikir seperti inkubator, bukan sekadar pabrik gelar. Pemerintah mesti hadir dalam bentuk kebijakan yang berpihak, bukan hanya wacana.
Dunia industri juga perlu menurunkan batasan dan memberi ruang bagi pemula, bukan hanya mengejar efisiensi. Generasi muda adalah modal dan penerus bangsa di masa depan.
Akan tetapi, kenyataan sebenarnya cukup pahit. Terlalu banyak di antara mereka yang tersisih hanya karena sistem belum mampu menampung potensi mereka.
Jika pemerintah gagal mengubah keadaan ini, maka ancaman terbesar kita bukan lagi pengangguran, tapi hilangnya kepercayaan generasi muda terhadap negeri ini.
Tidak ada yang lebih menyakitkan dari belajar keras bertahun-tahun, hanya untuk diberi tahu bahwa dunia tak punya tempat untukmu. Baca juga ketika aspirasi tersumbat, bagaimana rakyat menyuarakan diri?
0 Comments